Sunday, July 15, 2012

Rukyatul Hilal Versus Hisab; Bukan Semata Soal Adu Argumentasi


Penetapan awal dan akhir Ramadan selalu akan beriringan, setidaknya di negara kita, dengan perdebatan soal standar yang digunakan untuk menetapkannya. Dalam hal ini ada dua perkara yang selalu ‘diadu’ kekuatannya, yaitu metode ‘rukyatul hilal (melihat hilal, bulan tsabit yang muncul pada awal bulan sebagai pertanda awal masuknya bulan hijriah) versus metode hisab (penetapan berdasarkan perhitungan ilmu astronomi). Hasilnya adalah ‘tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang’. Akibatnya, setiap tahun kita akan selalu melihat penetapan yang berbeda dan pada gilirannya, mau tidak mau, masyarakat dibuat bingung olehnya.


Tulisan ini tidak bermaksud mengurai satu persatu argumentasi dari kedua metode yang digunakan dan menguatkan salah satu di antara keduanya. Karena masing-masing memang memiliki landasan dan logika, bahkan pengikut dan pendukungnya tersendiri. Terlebih saya tidak memiliki kapasitas yang mumpuni, baik secara teoritis apalagi secara praktis, dalam kedua metode tersebut. Tapi, jika boleh saya simpulkan, ‘perdebatan sengit’ di antara kedua pendukung metode ini terletak pada hadaf (tujuan) dan wasa’il (sarana), antara tsawabit (perkara baku yang tidak berubah-ubah) dan mutaghayyiraat (perkara yang dapat berubah-ubah sesuai tuntutan zaman).
Pendukung rukyatul hilal, dengan sejumlah hadits yang ada menjadikan masalah rukyat (melihat) sebagai ketentuan baku. Boleh dibilang dia sebagai ‘ibadah’ yang tidak dapat dialihkan kepada pendekatan lainnya. Sebab dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa awal dan akhir Ramadan hendaknya ditetapkan berdasarkan ‘terlihatnya (rukyat) hilal’, bukan ‘adanya (wujud) hilal’. Misalnya dalam hadits yang terkenal, ‘Puasalah kalian apabila hilal terlihat”. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Puasalah kalian apabila hilal muncul atau ada.” Jadi, ‘melihat’ (rukyat) menjadi acuan baku, bukan salah satu sarana yang terkait dengan kondisi masyarakat ketika itu. Buktinya adalah, apabila terhalang dalam melihat hilal, apakah karena mendung atau lainnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengarahkan agar kita menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Padahal bisa jadi, ketika itu hilal muncul, hanya saja dia tidak terlihat. Maka, karena tidak terlihat, apapun alasannya, awal Ramadan tidak dapat ditetapkan ketika itu. Argumen mereka diperkuat dengan kenyataan bahwa ilmu falak yang menjadi dasar penetapan awal Ramadan berdasarkan hisab sudah dikenal ketika syariat ini diturunkan. Namun tetap saja masalah hisab tidak dijadikan acuan dalam perkara ini.
Sementara pendukung hisab melihat permasalahannya secara substansial. Intinya adalah bagaimana kedatangan bulan Ramadan dapat diketahui, apakah dengan rukyatul hilal atau dengan hisab. Jika munculnya hilal dijadikan sebagai patokan dalam menentukan awal bulan hijriah, maka, menurut versi ini, yang paling penting adalah mengetahui ‘kemunculannya’. Apakah dengan melihat langsung atau melalui pendekatan ilmiah dengan rumus-rumus yang dikenal dalam ilmu astronomi. Bagi mereka, ini hanya masalah cara atau sarana saja untuk mengetahui kedatangan Ramadan. Yang mana yang paling mungkin dan lebih valid, sesuai dengan waktu dan kondisinya serta kemampuan masyarakat, maka hendaknya itu yang lebih utama digunakan. Untuk masa sekarang, berpatokan dengan standar hisab, tampak lebih mudah dan lebih valid dibanding rukyatul hilal. Apalagi perkembangan ilmu astronomi sudah maju sedemikian rupa, sehingga faktor kekeliruannya semakin dapat diminimalisir sekecil mungkin. Di samping, mereka juga melihat bahwa celah untuk menggunakan hisab dapat ditangkap dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat berbicara dalam masalah ini, yaitu bahwa (saat itu) kaumnya merupakan kaum ummy; Tidak dapat membaca dan menghitung (HR. Abu Daud, dll). Di samping, mereka juga berlandasan dengan salah satu riwayat yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa apabila hilal terhalang untuk dilihat maka beliau berkata, (فاقدروا له) hal ini dipahami oleh mereka sebagai perintah untuk merujuk kepada ‘perhitungan perjalanan bulan’ alias hisab. Kesimpulannya, saat itu, rukyatul hilal adalah metode yang paling mudah dan memungkinkan tingkat kemajuan dan kemampuan masyarakat ketika itu. Adapun sekarang, maka hisablah yang seharusnya dijadikan acuan. Karena zaman sudah maju dan komunikasi sudah canggih.
Mekanisme Seharusnya
Tentu saja perdebatan dan alasan-alasan yang disampaikan lebih dalam dan lebih beragam dan dalam dibanding kesimpulan yang saya berikan di atas. Hanya saja, permasalahan ini bukan sekedar adu argumentasi untuk mempertahankan pendapat mana yang paling kuat.
Sedalam apapun kajian tentang hal ini, semestinya ada perkara lain yang tidak dapat kita abaikan, yaitu soal mekanisme dan interaksi dengan perbedaan pendapat, khususnya terkait dengan upaya menjaga keutuhan umat. Sebab, masalah seperti ini bukan masalah yang terkait dengan keyakinan pribadi dan berdampak pribadi semata, tapi masalah yang dampaknya mencakup ketenangan dan keutuhan masyarakat muslim. Kalau boleh saya pinjam istilah yang sempat populer, perkara ini memiliki ‘dampak sistemik’ di tengah masyarakat. Dia tidak seperti perbedaan pendapat ‘apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu atau tidak’ atau ‘apakah menyentuh mushaf Al-Quran harus berwudhu atau tidak’, yang memiliki ‘tingkat radiasi’ terbatas.
Terkait dengan mekanisme penetapan awal dan akhir Ramadan, jika kita merujuk kepada beberapa riwayat yang ada, akan tampak bagaimana proses penetapan awal Ramadan itu ditentukan. Sebagaimana, di antaranya, disebutkan dalam hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya dengan sanad yang shahih, bahwa orang-orang berusaha melihat hilal, lalu Ibnu Umar memberitahu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa dia telah melihat hilal, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum muslimin berpuasa. Kemudian dalam hadits Ibnu Abbas, juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerima laporan seorang badui yang mengaku melihat hilal, setelah dipastikan keislamannya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk mengumumkan agar kaum muslimin mulai berpuasa esok.
Setidaknya, dari riwayat tersebut ada empat proses tahapan yang hendaknya dilalui untuk menetapkan awal dan akhir Ramadan. Pertama adalah partisipasi aktif berbagai elemen masyarakat untuk ikut berkontribusi dan memantau penetapan awal Ramadan. Kedua adalah melapor kepada penguasa atau pemerintah apabila sudah melihat hilal (atau telah memiliki kesimpulan tentang awal Ramadan). Ketiga pihak pemerintah melakukan proses pengecekan tentang kebenaran informasi yang sampai kepada mereka. Terakhir, keempat, pemerintah bertugas mengumumkan kepada masyarakat tentang awal Ramadan.
Jadi semestinya, meskipun masyarakat punya hak untuk memantau dan mengontrol proses penetapan awal Ramadan, bukan berarti mereka dapat semaunya mengumumkan hasil kesimpulan mereka sebelum ada ketetapan resmi pihak berwenang. Sebagaimana Ibnu Umar, setelah melihat hilal, dia tidak langsung mengumumkan kepada masyarakat, tetapi dia melapor dahulu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selaku pemimpin kala itu, kemudian beliau memerintahkan untuk mengumumkan awal Ramadan. Dengan begini, maka alur informasi akan jelas dan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi di masyarakat serta menutup kemungkinan silang pendapat dan informasi yang berbeda-beda.
Masyarakat boleh saja memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang awal Ramadan, namun hak untuk menetapkan dan mengumumkan awal Ramadan berada di pihak yang berwenang dan berkuasa, apalagi jika pihak yang berwenang telah berupaya agar penetapan awal Ramadan memenuhi kaidah-kaidah syar’i. Jika ada pihak yang tetap meyakini kesimpulannya berbeda dengan apa yang ditetapkan pemerintah, dia boleh berpuasa sesuai keyakinannya, namun tidak boleh mengumumkan dan mengajak masyarakat berpuasa berbeda dari keputusan pemerintah!
Perbedaan Pendapat dan Kerukunan Masyarakat Muslim
Di sisi lain, perkara ini termasuk ujian bagi kita bagaimana berinteraksi dengan perbedaan pendapat dan kaitannya dalam menjaga kerukunan masyarakat. Para ulama umumnya mengatakan bahwa jika perbedaan pendapat hasil dari sebuah ijtihad yang memiliki standar ilmiah memadai dalam sudut pandang fiqih Islam, atau dalam istilah fiqih disebut sebagai Al-Masa’il Al-Ijtihadiah As-Saa’igah, maka seseorang dibolehkan mengikuti pendapat lain yang berbeda dengan pendapatnya, walaupun dia menganggap pendapat tersebut lemah, dengan harapan sikap tersebut dapat menghindarinya dari perpecahan dan pertikaian di tengah masyarakat.
Ketika Utsman bin Affan radhiallahu anhu (berdasarkan pandangan ijtihadnya) melakukan shalat di Mina sebanyak empat rakaat (pada shalat yang empat rakaat) Ibnu Masud mengingatkan bahwa dia pernah shalat di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiallahu anhum di Mina sebanyak dua rakaat (shalat empat rakaat di qashar menjadi dua rakaat). Namun ketika suatu saat di Mina beliau shalat di belakang Utsman yang melakukan shalat empat rakaat, beliau mengikutinya shalat empat rakaat. Ketika ditanya tentang sikapnya, beliau mengatakan, “Perselisihan itu buruk.” (HR. Abu Daud).
Kitab Ar-Raudhul Murbi adalah salah satu kitab fiqih rujukan dalam Mazhab Hambali. Sebagaimana diketahui bahwa Mazhab Hambali tidak memandang disyariatkannya qunut secara khusus pada Shalat Subuh. Namun pengarang kitab ini, Al-Bahuti, mengatakan, apabila seorang makmum ikut shalat dengan imam yang qunut dalam shalat Fajar, hendaknya dia mengikutinya dan mengaminkannya. (Ar-Raudhul Murbi, 1/220)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, menguatkan pendapat, berdasarkan sejumlah dalil, bahwa bacaan basmalah pada shalat jahriah tidak dikeraskan, namun berikutnya beliau berkomentar, “Meskipun demikian, apa yang seharusnya tidak dikeraskan bacaannya, bisa jadi disyariatkan untuk dikeraskan bacaannya jika ada kemaslahatan yang kuat. Seorang imam, kadang-kadang, disyariatkan mengeraskannya untuk mengajarkan para makmum, bagi jamaah shalat boleh saja kadang-kadang mengeraskan sedikit bacaannya, boleh juga seseorang meninggalkan sesuatu yang lebih utama untuk merekatkan hati dan mewujudkan persatuan serta menghindari penolakan yang tidak layak. Sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam urung membangun Ka’bah berdasarkan pondasi Nabi Ibrahim, karena bangsa Quraisy ketika itu baru saja meninggalkan masa jahiliyahnya, beliau khawatir terjadi penolakan di kalangan mereka. Maka, beliau memandang bahwa maslahat kerukunan dan kesatuan hati lebih diutamakan ketimbang maslahat membangun Ka’bah berdasarkan pondasi Nabi Ibrahim…..” (Majmu Fatawa, 22/436-437)
Beliau rahimahullah juga berkata, “Meninggalkan perkara yang lebih utama menurutnya adalah boleh agar tidak menimbulkan penolakan masyarakat. Demikian pula jika seseorang berpendapat bahwa bacaan basmalah dikeraskan, lalu dia menjadi imam di masyarakat yang tidak menganggapnya sunah, atau sebaliknya, lalu dia shalat sesuai dengan pendapat mereka, maka dia telah bersikap baik.”
(Majmu Fatawa, 22/268-269)
Prosedur Penetapan Resmi Di Negara Kita
Jika kita perhatikan kasus yang terjadi di negara kita, Departemen Agama yang dalam hal ini diberi wewenang secara formal untuk menetapkan dan mengumumkan awal dan akhir Ramadan, telah berupaya melakukan proses penetapan dengan upaya maksimal agar terpenuhi standar syar’i serta tidak mengabaikan kemajuan teknologi sebagai penopangnya, bahkan mereka juga telah menyertakan berbagai elemen dan ormas Islam di masyarakat. Yang saya nilai, Depag telah melalui mekanisme yang terkandung dalam hadits Nabi di atas.
Mereka menyebutnya sebagai metode rukyat dan hisab sekaligus. Maksudnya adalah bahwa mereka menggunakan standar perhitungan hisab untuk dapat melihat hilal. Jika berdasarkan hisab, hilal sudah berada di atas ufuk dan dapat dilihat, maka dilakukan upaya rukyat untuk memastikan apakah dia terlihat atau tidak. Jika terlihat (rukyat) lalu diproses kebenarannya dan kemudian diterima, maka dipastikan bahwa esok hari adalah awal Ramadan. Jika tidak, atau ada yang mengaku melihat namun tidak dapat diterima persaksiannya karena satu dan lain sebab, maka ditetapkan bahwa bilangan Sya’ban digenapkan tiga puluh hari, dan Ramadan jatuh pada hari lusanya.
Katakanlah pedoman Depag yang lebih condong kepada rukyatul hilal ini termasuk pendapat yang lemah. Namun setidaknya dia merupakan perkara ijtihad para ulama yang masih diakui memiliki standar ilmiah syar’i yang masih layak diikuti. Maka jika hal ini yang lebih mendatangkan keutuhan dan kebersamaan di tengah masyarakat, sebaiknya pihak-pihak yang menganggapnya lemah, dapat berlapang dada untuk tidak memaksakan pendapatnya dan menerima pendapat lain selagi di sana lebih mendatangkan kemaslahatan bersama. Apalagi jika ternyata pandangan ini (rukyatul hilal) justru merupakan pandangan yang dikuatkan jumhur ulama. Sejak sekian ribu tahun lamanya hingga kini, rukyatul hilal, baik secara teoritis maupun secara praktis, telah dipegang dan dipraktekkan oleh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Bahkan berbagai lembaga fatwa kontemporer sekalipun masih menjadikan perkara ini sebagai pedoman utama dalam menetapkan awal dan akhir Ramadan dengan berbagai macam argumentasi. Maka jika kemudian pedoman ini dijadikan sebagai pedoman resmi untuk menetapkan secara resmi oleh pihak yang resmi, yaitu penguasa, semestinya dia merupakan sesuatu yang sangat amat layak diikuti, walaupun oleh pihak yang menganggapnya lemah. Dan seharusnya tidak ada yang mengumumkan dan menetapkan secara terbuka yang berbeda dengan keputusan resmi!!
Para ulama juga sebenarnya telah menetapkan kaidah bahwa “Keputusan hakim (penguasa) dapat menyelesaikan perselisihan pendapat yang ada.”
Dengan menyertakan kedua aspek ini (mekanisme dan cara pandang kita menyikapi perbedaan ijtihad terkait dengan keutuhan umat), penyatuan persepsi terkait penetapan awal dan akhir Ramadan akan lebih besar harapan untuk terwujud. Adapun kalau pedomannya hanya sebatas mana yang paling kuat argumentasinya, masing-masing pihak tentu merasa paling kuat argumentasinya.
Hal ini bukan berarti kita tidak setuju diskusi tentang masalah ini terus dilanjutkan, biarlah dia menjadi bagian dari dinamika dan diskursus ilmiah yang memang didorong dan diberikan ruang dalam Islam, selagi dilakukan semangat mencari kebenaran berdasarkan dalil dan pemahamannya. Bahkan secara pribadi, walaupun hingga kini penulis masih condong dengan standar rukyatul hilal, namun penulis cukup respek terhadap argumentasi mereka yang hendak menjadikan hisab sebagai acuan penetapan awal dan akhir bulan.
Namun hendaknya masalahnya dibedakan antara perdebatan ilmiah dengan wewenang dalam memberikan keputusan, agar jangan sampai membuat suasana kehidupan beragama tidak kondusif. Toh, kalau memang pandangannya benar-benar kuat dan memiliki standar ilmiah yang cukup, lambat laun akan ada penerimaan terhadap sebuah pandangan seperti itu. Tidak sedikit pandangan fiqih yang pada awalnya tidak terlalu diapresiasi bahkan ditolak, lambat laut dapat diterima setelah perbincangan dan diskusi panjang seputar masalah tersebut.
Sepanjang yang saya tahu, para ulama masa kini yang mengusung pendekatan hisab seperti DR. Yusuf Qaradhawi di Qatar, DR. Abdullah bin Sulaiman Al-Mani’ di Saudi, atau sebelumnya, pakar hadits, Syekh Ahmad Syakir, hanya membatasi pendapatnya dalam diskusi ilmiah. Apabila Ramadan tiba, mereka tidak sampai mengumumkan secara sepihak keputusan penetapan awal Ramadan berdasarkan pandangan hisab menurut pendapat yang mereka ambil di luar keputusan resmi pemerintah.
Ketegasan Pemerintah
Selain itu, dalam hal ini memang dibutuhkan ketegasan pihak berwenang untuk melarang keras pihak manapun mengumumkan penetapan awal Ramadan di luar keputusan resmi pemerintah. Hal ini yang berlaku di banyak negeri Islam. Sehingga dengan begitu, dapat diharapkan suasana kondusif akan terwujud dan masyarakat dapat mengawali Ramadan dengan tenang dan hati yang khusyu, tidak terombang ambing oleh berbagai info dan opini yang sedikit banyak dapat mempengaruhi suasana hati di bulan yang justru kita sedang sangat dianjurkan untuk membersihkan dan menata hati, baik kepada Sang Khaliq ataupun kepada sesama makhluk.
Dalam kapasitasnya, pemerintah tidak cukup menyikapi masalah ini dengan ungkapan yang sepintas manis dan menangkan, seperti ungkapan ‘masing-masing pihak agar menghormati pihak lain yang berbeda.’ Atau ‘kita sudah terlatih menghadapi perbedaan’, dan semacamnya. Ungkapan seperti itu layak bagi rakyat yang tidak berdaya apa-apa menghadapi kondisi seperti ini, adapun bagi pemerintah yang berwenang dan memiliki kapasitas untuk mengatur, ungkapan semacam itu lebih tepat disebut sebagai tameng untuk berlindung dari kelemahan menyelesaikan problem yang satu ini.
Wallahua’lam.
Selamat Menyambut Bulan Ramadhan

0 comments:

Post a Comment

-
-

Powered By Blogger